Pada saat dirayakannya berakhirnya sekulerisme – pertama pada tahun 1950 dan bahkan di tahun 1990 – tidak ada seorang pun yang meramalkan bahwa agama, yang merupakan suatu kutukan bagi politik di tahun-tahun pertama pada abad ke-20, akan kembali memegang perannya dengan pembalasan.
Banyak pakar yang pernah menulis tentang berakhirnya ideologi fasisme dan komunisme dengan harapan bahwa kita akan memasuki era pragmatisme dimana politik akan menjadi subyek argumentasi dan perdebatan, dan bukannya kepercayaan dan pandangan dunia secara keseluruhan.
Namun sejarah tidak akan pernah berakhir, dan akan terus diisi dengan berbagai kejutan. Seperti yang pernah ditulis oleh Francis Fukuyama dalam bukunya bertajuk End of History yang muncul pada tahun 1990an, dan satu abad setelah itu, kembalinya agama kepada politik bisa dilihat oleh semua – dan dirasakan juga oleh semua.
Buku-buku tersebut bukan wacana akademis semata, namun merupakan cermin dari pembangunan riil. Pada saat agama palsu dari ideologi totalitarianisme dikalahkan, agama yang benar telah lama melewati kancah politik.
Di beberapa negara, kesetiaan yang formal terhadap kepercayaan beragama disimbolkan dengan tindakan dan ritual. Namun tidak banyak yang memikirkan soal ini sewaktu para presiden Amerika yang memeluk kepercayaan yang berbeda-beda mengangkat sumpah jabatannya dengan nama Tuhan dan negara.
Di Westminster, tiap anggota parlemen yang menjabat memulainya dengan doa secara Kristiani yang dipimpin oleh Ketua yang bisa saja beragama Kristen, Yahudi atau yang tidak beragam sekalipun. Tidak semua demokrasi setegas yang dimiliki Perancis dalam hal sekulerisme formal mereka namun semua adalah sekuler: peraturan dibuat oleh prinsip kedaulatan rakyat dan bukan oleh keberadaan manusia atau lembaga yang super.
Namun, tiba-tiba komitmen sekuler ini menjadi tidak jelas: para kaum fundamental mengklaim bahwa peraturan harus berakar dari kepercayaan yang atas, atau bahkan didasari oleh wahyu.
Kaum fundamental Kristen di Amerika Serikat telah mendominasi segmen yang cukup besar di Partai Republik. Di Eropa, Vatikan melobi pengakuan adanya Tuhan dalam pembukaan (preamble) dari usulan Kesepakatan Konstitusional Eropa. Isreal telah sejak lama menghindar membuat sebuah Konstitusi, karena warganya adalah kaum sekuler yang takut akan kaum Yahudi yang diperkirakan akan memaksakan nilai-nilai mereka di dalam Konstitusi tersebut nantinya.
Sama halnya dengan Syariah, hukum Islam yang masuk dalam kehidupan politik dalam sebuah versi yang telah tercerahkan di negara-negara seperti Nigeria. Fundamental Islam, atau Islamisme, telah menyebar ke berbagai negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim.
Parlu kita tanyakan mengapa agam telah kembali ke arah sekuler dan politik secara demokratis?
Mungkin alasan utamanya adalah negara-negara yang baru saja tercerahkan telah menjadi tidak yakin dengan nilai-nilai bangsanya. Sebuah relativisme moral telah menyebar, dan banyak yang menerima tabu-tabu dari segala kepercayaan atas nama toleransi dan multikulturalisme.
Sewaktu kartun tentang Nabi Muhammad dipublikasikan, telah terjadi demonstrasi karena dianggap telah mencemooh kaum Muslim. Bisa dipahami bahwa mereka yang tercerahkan menjadi geram dan mereka pun kecewa karena dunia yang mereka tempati ternyata sangat lemah dan mudah kena serang.
Disamping itu, masih banyak lagi isu-isu yang ada – terutamanya, kebebasan berbicara, termasuk kebebasan untuk mengungkapkan sesuatu dan menulis sesuatu yang menyebalkan, bahkan mengecewakan banyak orang. Dalam rangka mencerahkan wacana, pembatasan kebebasan berbicara harus dijabarkan seluas mungkin. Dalam dunia yang bebas, seseorang tidak dipaksakan untuk membaca koran atau mendengarkan pidato yang mereka tidak sukai, dan mereka diperbolehkan untuk menolak tanpa rasa takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar