Awalnya ia hanya menyuruh stafnya untuk mengatur pelaksanaan proyek, agar segera diselesaikan, dan disertai katebelce agar penunjukan perusahaan tertentu sebagai pelaksananya. Awalnya hanya menandatangani kuitansi, untuk honor bulanan yang meski tidak jelas tugasnya. Awalnya adalah menerima hadiah lebaran, yang konon diberikan secara ikhlas oleh perusahaan tertentu. Awalnya hanya meninggikan harga pembelian, sehingga besarannya di atas harga pasaran.
Bahwa dengan apa dia lakukan itu, entah disengaja atau tidak, telah memperkaya diri sendiri, dan di lain pihak merugikan uang negara. Maka berlakulah pasal tindak pidana korupsi terhadapnya.
Ya soal “atur-atur dana proyek”, soal “mark-up dana proyek”, “menentukan pelaksana proyek”, semua itu seakan hanya aktivitas pada level duniawi. Tak ada yang berbau ukhrawi. Tak ada kaitannya dengan baik-buruknya akhlaq. Tak ada teks dijumpai untuk melarang atau menyuruh perbuatan yang demikian itu.
Nun jauh di sana ada larangan penyebaran sekularisme, karena membahayakan aqidah. Tahu arti sekularisme, dari asal kata “sekuler” yang biasa diartikan secara politis, yakni memisahkan agama dari negara. Ketika pengertian itu di bawa ranah kehidupan sehari-hari, pengertian sekuler adalah memisahkan masalah keduniaan dengan masalah keakheratan, atau memisahkan masalah kehidupan kesehariann dengan agama. Seakan tindak laku kita itu ada yang urusan keduniaan sendiri dan ukhrawi sendiri. Tindakan yang ukhrawi dibatasi hanya pada urusan ibadah mahdhah (ritualis) atau tindakan yang jelas acuan teksnya dalam al Qur’an atau Hadits Nabi. Sementara yang tidak secara langsung disebut dalam teks, dianggap tak ada urusannya dengan akhlaq. Tuhan dianggap tidak tahu, kalau memanipulasi uang proyek itu, adalah dosa. Tuhan dianggap tidak akan paham, kalau memperkaya diri sendiri itu sebuah kemungkaran. Tuhan dianggap tidak memantau kelakuan yang tidak ditulis oleh teks yang diwahyukannya.
Begitulah bahayanya sekularisasi, yakni perbuatan yang membodohi ajaran Tuhan. Memandang Ketika teks ada, semisal kewajiban beramar makruf dan berbuat adil, tetapi karena bersifat umum, kemudian teks itu dianggap tidak ada. Serwaktu-waktu teks itu dianggap ada, tapi pengertiannya disamarkan atau bahkan sengaja digelapkan.
Itulah kriminalitas dalam agama, yakni tindakan menyamarkan, menggelapkan atau memanipulasi substansi ajaran Tuhan..
Kalau yang membodohi adalah seorang yang dikenal ulama, maka urusannya menjadi amat serius dalam masalah dakwah.
Seorang dengan gelar hafizul Qur’an dan ulama, tentulah berkonotasi positif. Apalagi kalau bukan orangnya yang saleh, suka bertutur tentang agama, kebiasaan membaca kitab-kitab klasik tak pernah ditinggalkan demi meningkatkan pengetahuannya. Memberi kuliah di perguruan tinggi agama memang tugas utamanya, karena ia pun bergelar profesor.
Tetapi antara ide dan faktanya itu tidak tampaknya tidak selalu match. Entah apakah istilahnya “ulama”nya yang salah menerapkan atau masyarakat yang terlalu gampang mengidentifikasi, atau orangnya yang bersangkutan yang karena tingginya ilmu kemudian bisa membolak-balik ayat, sehingga umat pun terkecoh. Contoh keterkecohan itu bisa dilihat, ketika suatu hari ada pengurus pembangunan masjid menerima bantuan yang besarnya lumayan. Dan dari uang itu kemudian bisa merenovasi bagian demi bagian fisik gedung. Tidak tahunya uang infak itu berasal dari hasil korupsi. Dan sang pengurus pembangunan sudah kadung memuji-muji atas “kebaikannya” pada kesempatan menjelang khutbah Jumat.
Suka atau tidak suka, tuduhan melakukan korupsi, belakangan ini telah dialamatkan kepada sejumlah pejabat dan atau wakil rakyat atau mantan wakli rakyat di berbagai daerah. Kalau bukan karena ia beragama Islam, atau mewakili partai Islam, atau pejabat yang masih aktif di Departemen Agama, tentulah tidak menjadi perbincangan di sini.
Masyarakat awam pun tahu, bahwa para tertuduh, baik yang sedang diproses maupun yang sudah divonis pengadilan, adalah dikenal sebagai orang berlebih dalam soal keilmuan. Kalau bukan karena kelebihannya, mana mungkin bisa jadi legislator atau pejabat. Karena keilmuannya. tentulah lebih baik aklahqnya, dibanding yang kurang berilmu. Karena ia lebih kenal mana perbuatan yang mengandung dosa dan mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk, dan mana yang maslahat dan mana yang madzarat. Dengan segudang ilmu tentu tidak sulit dijadikan bahan memilih atau menentukan mana yang terbaik, bagi dirinya, bagi agamanya, bagi keluarganya, umatnya dan bagi bangsanya. Termasuk untuk memilih mana yang merugikan dirinya, keluarganya, agamanya dan bangsanya. Itulah kalau ngomong kita di ranah teori.
Membicarakan masalah demikian seakan sama saja kita menepuk air di dulang, Ya jelas airnya muncrat ke muka kita sendiri. Dari sono-nya, keberagamaan itu telah teridealaisasi sedemikian rupa sehingga segalanya serba berkonotasi “baik” dan “indah”. Umat beragama adalah umat terindah di muka bumi, karena dijadikan oleh Allah menjadi golongan the best of the peoples (lihat Ali Imran 110: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar). Kemudian kalau mengungkap borok sebagian umat seakan mengungkap aibnya di muka umum.
Di sini soalnya bukan aib dan tidak aib, karena kalau yang menjadi “tersangka” kemungkaran itu adalah seorang publik figur atau pelayan umat, tentulah tak ada yang bisa disembunyikan. Apatah lagi zamannya kini abad komunikasi. Segala informasi sekecil apapun, apalagi menyangkut seorang tokoh, tak bakalan bisa ditutup-tutupi. Maka ketimbang orang lain yang mengharu biru Islam, sebaiknya kita sendiri yang mencoba berintrospeksi. Segala yang sedang terjadi, di antara kita, kita jadikan bahan renungan, bahan evaluasi diri, agar nama Islam tak lagi hanya menjadi pemanis bibir, tetapi menajdi pemanis hati dan ekspresi. Dan …., ya sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar